Kedudukan Peraturan Daerah Provinsi dalam Hierarki Perundang-undangan Indonesia

banner 468x60

(The Position of Provincial Regulations in the Hierarchy of Indonesian Legislation)

Oleh: NURAIN LAUSE
Fakultas Hukum,Universitas Negeri Gorontalo,nurainlause07@gmail.com

banner 336x280

Abstrak
Kedudukan peraturan daerah provinsi dalam hirarki perundang-undangan Indonesia serta dampaknya terhadap implementasi hukum di tingkat regional. kedudukan Perda Provinsi dalam hirarki perundang-undangan menunjukkan posisinya di bawah Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP), namun berada di atas Peraturan Presiden (Perpres) dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Perda Provinsi memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara umum dan berlaku di seluruh wilayah provinsi. Perda Provinsi dapat diubah atau dicabut oleh DPRD Provinsi bersama dengan Gubernur. Perda Provinsi memiliki kedudukan penting dalam sistem hukum Indonesia dan menjadi instrumen vital untuk melaksanakan otonomi daerah dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Kata Kunci: peraturan daerah provinsi, hirarki perundang-undangan

Abstract

The position of provincial regulations in the hierarchy of Indonesian legislation and its impact on the implementation of law at the regional level. The position of Provincial Regulations in the hierarchy of legislation shows their position below Laws (UU) and Government Regulations (PP), but above Presidential Regulations (Perpres) and laws and regulations below them. Provincial regulations have general binding legal force and apply throughout the province. Provincial regulations can be amended or revoked by the Provincial DPRD together with the Governor. Provincial regulations have an important position in the Indonesian legal system and are a vital instrument to implement regional autonomy and realizing community welfare in the regions.

Keywords: provincial regulations, hierarchy of laws

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kerakyatan, adalah paham demokrasi yaitu pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Dalam pemerintahan daerah, pemerintah daerah harus diselenggarakan oleh rakyat daerah setempat berdasarkan aspirasi dan kepentingannya. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, artinya bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan demokrasi tersebut, harus berdasarkan kearifan, yaitu segala tindakan yang menghasilkan kedamaian. Dalam musyawarah, artinya bahwa sistem demokrasi dalam pemerintahan daerah dapat diselenggarakan dalam permusyawaratan langsung, seperti di desa yang menyelenggarakan demokrasi langsung maupun dalam sistem perwakilan dalam satuan pemerintahan yang lebih kompleks, seperti pemerintahan Provinsi, Kabupaten maupun kota. Pemerintahan daerah yang ideal, adalah bagaimana membangun sinergi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, agar terjalin suatu kesatuan dalam bernegara.

Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum, hal ini sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa segala segi kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus senantiasa berdasarkan atas hukum baik oleh orang persoarangan, kelompok, institusi maupun negara itu sendiri selaku pembuat hukum atau aturan.

Dalam perspektif hukum tata negara, negara memiliki pusat pemerintahan yang pada umumnya berada dalam satu kota tertentu yang disebut dengan ibu kota negara. Praktek ketatanegaraan dibanyak negara menempatkan organ – organ pemerintahan berada di ibu kota negara. Dalam hal pengaturanya, terdapat undang-undang dasar atau undang-undang yang menyebutkan secara langsung ibu kota negaranya.

Roda pemerintahan dan segala aspek kebangsaan mulai dari pembangunan, ekonomi, kesehatan, dan kebudayaan segalanya terpusat pada pemerintah pusat Ibu Kota. Oleh karena itu, dalam pembagian tugas dan tanggung jawabnya dalam menjalankan pemerintahan, Indonesia menganut system otonomi daerah yang membagikan kekuasaannya kepada daerah-daerah. Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa negara Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Sehingga implikasi dari otonomi daerah itu sendiri ialah desentralisasi yang memang cocok diterapkan di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang banyak di berbagai daerahnya.

Pembagian daerah-daerah di Indonesia di dasarkan pada asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan. Sendi-sendi kerakyatan dikembangkan untuk menciptakan tatanan demokratis yang sesuai dengan cita- cita bersama, sekaligus sebagai ajang realisasi bagi masing-masing daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya berdasarkan karakteristik kebudayaan dan geografis. karena setiap daerah berhak atas pengembangan pembangunan daerahnya yang meliputi aspek sumber daya alam serta sumber daya manusianya tanpa ada intervensi dari pusat.

Pola pikir sedemikian ini dapat diterima mengingat wilayah Indonesia yang begitu luas, terdiri dari ribuan pulau, didiami oleh penduduk yang multietnis, ras dan agama sehingga mempunyai beragam budaya, apalagi tingkat hubungan masyarakat yang sangat heterogen sehingga sulit untuk menyerahkan sepenuhnya kepada daerah dengan otonomi luas, karena seluas-luasnya otonomi daerah tetap tanpa tidak terbatas. Terjadinya banyak pergantian Undang-undang dalam pengaturan Pemerintah Daerah, sesungguhnya harus dipahami sebagai sebuah bentuk berdemokrasi. Hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya inskonsitensi terhadap beberapa aturan yang saling bertentangan dengan yang lain, ternyata dengan penuh kebijaksanaan kita harus punya daya toleransi terhadap apa yang dinamakan sebuah proses, bahwa kita sedang belajar berdemokrasi, sehingga perlu waktu untuk mencari bentuk Otonomi Daerah yang tepat.

Masuknya Peraturan Daerah dalam hierarki Peraturan Perundang- undangan bukan tanpa alasan. Apabila menilik pada konsideran menimbang Ketetapan MPR No. III/MPRS/2000, Peraturan Daerah itu perlu masuk dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan karena dalam rangka untuk menguatkan pelaksanaan dari otonomi daerah. Seperti yang diketahui, pada saat itu otonomi daerah sedang gencar-gencarnya ditambah pula dengan adanya reformasi 1998, sehingga patut apabila Peraturan Daerah itu termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan daerah merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah bersama dengan Kepala Daerah. Sejaland dengan agenda desentralisasi dan otonomi daerah, kedudukan Peraturan Daerah perlu semakin dikukuhkan yang dapat bersifat mandiri. Dari segi perbuatannya, sudah semestinya Peraturan Daerah dapat dilihat setara dengan Undang-undang dalam arti sama-sama merupakan produk hukum lembaga legislatif. namun dari sisi isinya sudah seharusnya kedudukan peraturan yang ruang lingkungnya lebih sempit dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dibandingkan peraturan yang ruang lingkupnya lebih luas. Karena itu Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi sesuai prinsip hirarki peraturan perundang- undangan.

Berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 disebutkan bahwa pembentukan peraturan daerah adalah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan karena itu, peraturan daerah akan terdiri dari peraturan daerah di bidang otonomi dan peraturan daerah di bidang tugas pembantuan. Tidak ada perbedaan yang mendasar antara peraturan daerah tersebut. Perbedaan hanya terletak pada jangkauan pengaturannya. Peraturan daerah di bidang otonomi mencakup seluruh aspek urusan rumah tangga baik yang menyangkut isi maupun tata cara penyelenggaraannya. Sedangkan peraturan daerah di bidang tugas pembantuan hanya mengenai tata cara penyelenggaraan urusan tersebut. Peraturan daerah di bidang tugas pembantuan tidak mengatur isi urusan karena bukan urusan rumah tangga daerah. Urusan rumah tangga daerah dalam tugas pembantuan hanya terbatas pada tata cara penyelenggaraan urusan tersebut.

Dalam pembentukan peraturan daerah ada 3 (tiga) hal yang diperlukan, pertama, peraturan daerah dibidang otonomi, kedua, peraturan daerah dibidang tugas pembantu. Ketiga, Peraturan Daerah sebagai penjabaran peraturan perundang-undangan diatasnya. Pelaksanaan tugas pembantuan tersebut diatur/dituangkan dalam “Perda dan/atau keputusan kepala daerah”, agar pemerintahan daerah dapat mengatur lebih rinci sesuai dengan keadaan setempat, tetapi kewenangan yang diberikan bersifat terbatas. Sebab, “Peraturan tidak boleh mengatur tugas pembantuan di luar dari yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan Peraturan perundang-undangan tersebut tentunya harus baik, dalam artian baik melalui cara dan metode yang pasti, sebagaimana yang diataur atau ditetapkan oleh undang-undang maka diperlukan pula ketentuan yang sesuai dengan apa yang ditetapkan undang-undang tentang jenis dan materi muatan jika melihat pendapat A. Hamid S. Attamimi maka pembentukan norma hukum yang berlaku keluar dan mengikat secara umum yang dituangkan dalam jenis- jenis peraturan perundang-undangan sesuai hierarkinya.

Pembentukan norma hukum tersebut perlu dituangkan dalam berbagai jenis peraturan perundang-undangan, penting memperhatikan materi muatannya. Pentingnya pemahaman dan ketentuan tentang “jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan ditunjukkan pula dengan adanya salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yakni asas “kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan yang dimaksud dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar- benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kedudukan Perda Provinsi dalam hirarki perundang-undangan Indonesia?
2. Bagaimana mekanisme pembentukan Perda Provinsi?
3. Bagaimana peran Perda Provinsi dalam mewujudkan otonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat?

METODE PENELITIAN
Metode adalah aspek yang sangat penting dan besar pengaruhnya terhadap berhasil tidaknya suatu penelitian, terutama untuk mengumpulkan data. Hal ini disebabkan data yang diperoleh dalam suatu penelitian merupakan gambaran dari obyek penelitian. Dalam kajian hukum telah menjadi keharusan ini mendeskripsikan dan membahas permasalahan hubungan perda dengan peraturan yang ada dilingkungannya hingga tataran tertinggi. Oleh karena itu tujuannya tak sebatas mendeskripsikan saja namun memberikan catatan-catatan ideal dalam keberlanjutan hubungan tersebut. Identifikasi permasalahan yang timbul juga termasuk yang berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah terkait pembentukan dan penyusunan peraturan yang harmonis.

Berdasar pada karakteristik masalah yang diajukan dalam penelitian ini yang berfokus pada Analisis Kedudukan Peraturan Daerah Provinsi dalam Hierarki Perundang-undangan Indonesia, maka penelitian ini termasuk dalam tipe penelitian yuridis normatif, dimana fokus penelitiannya adalah pada bahan-bahan pustaka. Jadi menggunakan tipe penelitian hukum normatif (normative legal research) yang menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji disebut juga dengan istilah penelitian kepustakaan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder saja. Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum yang berhasil dikumpulkan peneliti diolah dan disusun secara sistematis sehingga menghasilkan dan memberikan penjelasan secara rinci

PEMBAHASAN
1. Kedudukan Perda Provinsi dalam Hierarki Perundang-undangan Indonesia
Dalam suatu negara hukum, sudah pasti segala aspek kehidupan bernegara diatur oleh hukum. Dalam hal pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, sudah seharusnya berangkat dari suatu dasar hukum, inilah yang dimaksud oleh stufenbautheorie yang dianut dalam hierarki norma yang ada di Indonesia. teori ini besar dan dikembangkan oleh Hans Kelsen dari muridnya. Peraduran derah awalnya tidak memiliki kekuasaan yang begitu baik secara kekuasaan. Namun akhirnya, karena desakan gaung reformasi yang sangat mendesak pada masa ORBA, maka dilakukanlah amandemen terhadap UUD 1945.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa: ”Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan”. ”Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norrna hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang- undangan”.

Mengenai peraturan daerah sendiri secara konstitusional akan kita temui dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 yang menegaskan daerah otonom, daerah otonomi khusus ataupun daerah istimewa. Bila dikaji dari aspek sejarah, di Indonesia, Mohammad Yamin lah orang pertama yang membahas tentang masalah pemerintahan daerah yang disampaikan dalam sidang BPUPKI 29 Mei 1945. Peraturan-peraturan daerah otonom, daerah otonomi khusus dan daerah istimewa ini mencakup pula pengertian mengenai:

A. Peraturan daerah sebagai produk legislasi bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRD;
B. Peraturan pelaksananya berupa peraturan peraturan yang ditetapkan oleh kepala pemerintah daerah, yaitu Gubernur, Bupati atau Wali Kota.

Peraturan daerah adalah suatu produk hukum yang bukan hanya berisi tindak lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi juga berisi kekhasan dan kebutuhan lokal dalam kerangka otonomi. Peraturan daerah dibentuk oleh kepala daerah dan DPrD, yang keduanya dipilih secara demokratis dan berdasarkan asas kedaulatan rakyat karena dibentuk oleh lembaga eksekutif dan legislatif.

Secara formal pembentukan peraturan daerah adalah manifestasi kedaulatan rakyat yang dilakukan melalui kepala daerah dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPrD) setempat. kedaulatan rakyat sebagaimana diketahui merupakan amanah Pasal 1 ayat (2) uuD 1945. Di pihak lain, secara materiel, peraturan daerah merupakan formulasi hukum atas kebutuhan dan kekhasan lokal masing-masing daerah. Di samping itu, peraturan daerah juga memuat ketentuan pidana.

Peraturan daerah bukan tergolong dalam produk regulatif atau executive act, melainkan produk legislatif daerah. Hal ini terlihat dari segi pembentukannya; sangat jelas ditentukan bahwa peraturan daerah dibentuk oleh lembaga legislatif daerah bersama-sama dengan kepala pemerintah daerah. Mekanisme pembentukan perda serupa dengan pembentukan undang-undang di tingkat nasional yang dibentuk oleh DPr setelah dibahas bersama dan mendapat persetujuan bersama antara DPr dan presiden, yang selanjutnya disahkan sebagaimana mestinya oleh presiden Dengan demikian, peraturan daerah adalah produk legislatif daerah.

Pemerintah daerah memiliki Kewenangan pembentukan Perda merupakan salah satu wujud kemandirian daerah dalam mengatur urusan rumah tangga daerah atau urusan pemerintahan daerah. Perda merupakan instrumen yang strategis sebagai sarana mencapai tujuan desentralisasi. Dalam konteks otonomi daerah, keberadaan Perda pada prinsipnya berperan mendorong desentralisasi secara maksimal. Kewenangan Pemerintah daerah dalam membentuk Perda merupakan hak, karena instrumen kebijakan hukum pemerintahan daerah dalam menampung aspirasi masyarakat, mengatasi berbagai masalah yang timbul baik yang sudah ada, atau kemungkinan akan ada di masa yang akan dating dalam rangka otonomi daerah. Peraturan daerah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini termuat dalam Undang-undang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

UUD 1945 Pasal 18 ayat (3) menjelaskan bahwa DPRD termasuk dalam pemerintahan daerah, “pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki pengurus daerah dari wakil rakyat yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Sebagai lembaga demokrasi, DPRD harus mengumpulkan faktor-faktor politik lokal dari para pemenang pemilu, mulai dari mengklarifikasi keinginan pemilih di mekanisme legislative DPRD, sehingga mendorong Bupati untuk merumuskan kebijakan public partisipatif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta memantau pelaksanaan kebijakan di lapangan.

UUD 1945 Pasal 18 ayat (6) mengatur bahwa pemerintah daerah berhak menyusun peraturan daerah dan peraturan lain untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Sesuai dengan berlakunya asas desentralisasi di Indonesia yang mengartikan bahwa asas desentralisasi ini hanya akan ada bilamana terjadi penyerahan atau “overdragen” wewenang dan kekuasaan dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri, dan
desentralisasi ini bentuknya berupa otonomi dan tugas pembantuan.

Peraturan Daerah mempunyai kedudukan yang strategis, karena diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan Daerah memiliki beberapa fungsi yaitu:

a. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana amanat UUD RI Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
b. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah, serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah. Namun pengaturannya tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
c. Sebagai peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pemerintah daerah menegaskan bahwa Perda dapat memuat suatu muatan lokal yang merupakan ciri atau potensi daerah yang dapat dikembangkan pemerintah daerah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, legitimasi dan legalitas Perda tidak hanya bergantung pada isi Perda yang sesuai dengan peraturan di tingkat yang lebih tinggi dan tidak melanggar kepentingan umum, tetapi juga efektivitas Perda sebagian besar tergantung pada proses pembentukannya, termasuk prosedur yang diperlukan seperti tahapan dan persyaratan. Hal-hal lain yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Salah satu syarat formal dalam proses pembentukan Perda adalah perlunya penjelasan dan / atau naskah akademik yang memuat gagasan pokok, hasil penelitian terhadap isi Perda dan diselaraskan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Dengan melihat penjabaran-penjabaran di atas mengenai kedudukan dari Peraturan Daerah, maka kedudukan Peraturan Daerah telah diatur secara jelas dalam Peraturan Perundang-undangan. Apabila ditelaah lebih dalam lagi, dalam hierarki yang ada disetiap regulasi, Peraturan Daerah diletakkan di posisi bawah yang artinya memiliki kekuatan hukum rendah. Hal ini dikarenakan Peraturan Daerah baik itu Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota hanya berada di tingkat daerah saja.

2. Mekanisme Pembentukan Perda Provinsi
Kinerja di bidang pembentukan peraturan perundang – undangan (PUU) dalam 10 tahun terakhir ini telah memperlihatkan peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini tidak terlepas dari proses penyusunan PUU dengan mekanisme yang makin tertib, terarah, dan terukur, meskipun masih tetap perlu diupayakan penyusunan PUU dengan proses yang lebih cepat dengan tidak mengurangi kualitas PUU yang dihasilkan. Penyerahan sebagian besar kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah, telah menempatkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional, dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Dalam kaitan ini peran dan dukungan daerah dalam rangka pelaksanaan PUU sangat strategis, khususnya dalam membuat peraturan daerah (Perda) dan peraturan daerah lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-undang (UU) Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Amandemen UUD 1945 juga memberikan kewenangan yuridis bagi daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Kewenangan yang luas tersebut tentunya harus dipahami untuk menuju kesejahteraan dan keadilan sosial bersama sehingga produk perundang- undangan daerah yang dihasilkan adalah produk perundang – undangan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat (kesejahteraan). Karena untuk kepentingan masyarakat maka masyarakat harus diajak bersama-sama dalam merumuskan rancangan perundang-undangan di daerah.

Hal ini tentunya tidak mengenyampingkan keberadaan wakil-wakil rakyat di DPRD. Perlu adanya kesinambungan peran antara masyarakat dengan DPRD karena pada kenyataannya wakil-wakil rakyat yang berada di dewan tidak mampu mewakili seluruh aspirasi masyarakat yang sangat dinamis itu. Berdasarkan UUD 1945 yang sudah di amandemen, di Indonesia kekuasaan penyelenggaraan negara tidak lagi terpusat pada Presiden, ini setidaknya ditandai dengan tidak lagi kekuasaan membentuk undang-undang dipegang Presiden, tetapi kekuasaan itu dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR.

Perda dibentuk oleh DPRD yang dibahas bersama dengan Kepala Daerah untuk memperoleh persetujuan bersama. Dalam konteks ini, pembahasan dan persetujuan atas Perda yang dibentuk itu berlangsung di DPRD. Pembentukan Perda tidaklah terjadi begitu saja, melainkan diawali dengan proses penyusunan Rancangan Perda. Karena itu, kualitas suatu Perda dan pengambilan keputusan atas Rancangan Perda menjadi Perda sangat ditentukan oleh bagaimana dan dengan cara bagaimana rancangan Perda itu disusun. Disinilah dibutuhkan kearifan bersama antara Pemerintah Daerah, DPRD, dan masyarakat dalam membuat peraturan daerah. Karena Peraturan Daerah, adalah merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang pokok-pokok pikiran pada konsiderannya memuat unsur filosofis, yuridis politis dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah yang cukup memuat satu pokok pikiran yang isinya menunjuk pasal dari undang-undang yang memerintahkan pembuatannya. Karena Peraturan Daerah secara hierarki merupakan peraturan perundang-undangan yang langsung terintegrasi dari peraturan perundang- undangan di atasnya dan memiliki daya sentuh yang kuat dalam kehidupan masyarakat.

Pembentukan Perda juga harus mengacu pada sistem hukum nasional dimana Pancasila sebagai sumber hukum yang menjadi wujud cerminan masyarakat Indonesia yang bermacam karekteristik, sehingga dengan demikian dalam pembentukannya Pancasila berperan sebagai acuan dan sumber dari segala sumber hukum yang ada di negara Republik Indonesia. Hal ini berarti bahwa Pancasila sebagai dasar negara yang digunakan dalam penyelenggaraan negara dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sebagai pokok kaidah Negara yang fundamental.

Tahapan penting yang ditempatkan sebagai bagian dari persiapan pembentukan Perda juga salah satunya adalah pelaksanaan harmonisasi Raperda. Harmonisasi diartikan sebagai keselarasan, kecocokan, dan keserasian. Apabila definisi tersebut dikaitkan dengan pengharmonisasian peraturan perundang-undangan, maka suatu peraturan perundang-undangan memiliki keselarasan, kecocokan, dan keserasian dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Terkait pembahasan penghamonisasian raperda, terlebih dahulu akan merujuk pada jenis harmonisasi peraturan perundang-undangan. Terdapat dua macam harmonisasi peraturan perundang-undangan yakni harmonisasi secara vertical dan harmonisasi secara horizontal. Harmonisasi vertikal adalah pembentuk peraturan perundang-undangan wajib menyusun suatu perundang-undangan secara selaras dengan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang merupakan pasal yang menjadi dasar pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Sedangkan harmonisasi horizontal memperhatikan pula harmonisasi yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dalam struktur hierarki yang sama atau sederajat dalam menyusun peraturan. Harmonisasi vertikal erat kaitannya dengan asas lex posteriori derogate legi prori.

Tahapan pengharmonisasian Raperda merupakan bagian dari tahapan pembentukan Perda. Namun tidak semua jenjang pembentukan Perda terdapat pengharmonisasian Perda oleh Kementerian Hukum dan HAM sebagai organisasi pembina pembuatan peraturan menilik Raperda arahan DPRD diproses oleh
Balegda. Pengharmonisasian Raperda difokuskan pada tahap penyusunan dan pembahasan.

Khusus terhadap Ranperda yang berasal dari eksekutif (Kepala Daerah), dalam Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pengharmonisasiannya dilaksana kan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 99A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan pula bahwa sebelum kementerian atau lembaga sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undanganitu terbentuk, pelaksanaan fungsi peraturan perundang-undangan (termasuk tahapan pengharmonisasian Ranperda) dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Dalam upaya menjamin kepastian pembentukan peraturan perundang- undangan, maka dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus senantiasa beradasarkan pada ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan, Dimana yakni sejak dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, dalam perumusan, dalam pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.

Tahapan dalam membentuk Perda, yang meliputi:
1. Perencanaan
Perancangan, Pembahasan, Pengundangan dan Sosialisasi serta Pengevaluasian. Tahap Perencanaan Tahapan ini dituangkan di dalam program legislasi yang mana diketahuibahwa pembentukan UU dikenal dengan program Ligislasi Rasional. Selanjutnya, dalam Pembentukan Perda dikenal dengan Program Ligislasi Daerah baik Provinsi atau Kebupaten/Kota. Program-program dijadikan sebagai instrument dalam proses perencanaan dengan tujuan untuk membentuk Perda yang dirancang secara terpadu, berencana serta sistematis.

2. Tahap Perancangan
a. Perumusan
1) Pada saat RanPerda dirumuskan harus berpedoman pada Naskah Akademik
2) Hasil yang diperoleh melalui Naskah Akademik dapat dijadikan sebagai kajian di dalam rapat konsultasi.
3) Pembahasan dalam kegiatan rapat konsultasi bertujuan untuk menetapkan kosenp RanPerda yang disusun secara holistik.
b. Membentuk tim asistensi yang bertujuan untuk membentuk rancangan materi RanPerda lalu melaporkannya kepada Kepala Daerah yang berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi.
c. Konsultasi RanPerda dilakukan bersamaan dengan berbagai pihak terkait. bersama dengan berbagai pihak terkait.
d. Aturan RanPerda disetujui oleh setiap Kepala Daerah.

3. Tahap Pembahasan

Dalam tahapan ini, RanPerda dikaji oleh Gubernur, Bupati dan DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama. Seperti yang diketahui, bahwa RanPerda bersumber dari DPRD maupun inisiatif Kepala Daerah. Adapun proses pembahasan ini berlangsung beberapa kali yaitu Rapat Paripurna I, II, III dan IV dengan agenda masing-masing. Adapun penjelasan dari masing-masing rapat sebagai berikut:
a. Rapat Paripurna I Jika RanPerda berasal dari DPRD. Oleh karena itu, agenda dijelaskan oleh DPRD terhadap RanPeda terkait. Sementara itu, jika RanPerda berasal dari usulan Kepala Daerah, maka agenda dijelaskan oleh Kepala Daerah terhadap RanPerda yang saat ini diusulkan.
b. Rapat Paripurna II Agenda dalam rapat ini menyatakan tanggapan kepala daerah terhadap RanPerda yang berasal dari DPRD ataupun pandangan umum dari seluruh fraksi DPRD terhadap RanPerda usulan inisiatif Kepala Daerah terhadap pandangan umum oleh masing-masing fraksinya.

c. Rapat Paripurna III Rapat ini memuat agenda seperti dibawah ini:
1) pembahasan RanPerda dalam gabungan dari panitia khusus bersama dengan kepala daerah,
2) pembahasan RanPerda yang bersifat internal di dalam komisi ataupun panitia khusus.
d. Rapat Paripurna IV Rapat ini memuat beberapa agenda penting, yaitu:
1) dibahas di dalam rapat yang sebelumnya.
2) Pandangan akhir dari masig-masing fraksi DPRD.
3) Proses penetapan keputusan dilakukan oleh DPRD. Serta,
4) Sambutan disampaikan oleh gubernur dan bupati selaku Kepala Daerah.

4. Tahap Pengundangan
Perda yang telah ditetapkan akan diundangkan lalu diposisikan di lembaran daerah. Kemudian, penjelasan Perda dicatat dalam lembaran tambahan oleh Sekretaris Daerah.

5. Tahap Sosialisasi
Meskipun Perda telah diundangkan, akan tetapi hal ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menjelaskan bahwa masyarakat sudah memahami eksistensi Perda terkait. Oleh sebab itu, Perda yang telah disahkan harus terlebih dahulu disosialisasikan kepada masyarakat luas.

6. Tahap Evaluasi
Untuk memahami tentang sejauh manakah pengaruh Perda yang sudah diundangkan, maka harus dilakukan evaluasi. Dengan tahapan ini, nantinya akan diketahui apasaja kelebihan maupun kelemahan Perda tersebut sehingga dapat digunakan dalam menetapkan berbagai kebijakan, contohnya apakah Perda sudah direvisi.

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah, merupakan wujud penyelenggaraan pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, di antaranya keterlibatan masyarakat, akuntabilitas dan transparansi. Selain itu, dengan adanya partisipasi masyarakat, maka peraturan daerah yang dihasilkan dapat mencerminkan kenyataan sosial yang berlaku secara umum dalam masyarakat. Pada dasarnya urgensi partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah, adalah:

a. Menjaring pengetahuan, keahlian atau pengalaman masyarakat sehingga peraturan daerah yang dibuat benar-benar memenuhi syarat peraturan daerah yang baik.
b. Menjamin peraturan daerah sesuai dengan kenyataan yang ada di dalam masyarakat, menumbuhkan rasa memiliki, rasa bertanggung jawab dan akuntabilitas Peraturan Daerah.
c. Menumbuhkan adanya kepercayaan penghargaan dan pengakuan masyarakat terhadap pemerintah yang daerah.

3. Peran Perda Provinsi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat

“Negara Kesatuan pada awalnya memulai segala hal dari prinsip manajemen pemerintahan yang bersifat sentralistik. Hal ini terbaca dari struktur pemerintahannya yakni bersifat monopoli yang ditekankan pada besar dan kuatnya kekuasaan pemerintah pusat atas pemerintah daerah”.

“Kesadaran bahwa pola manajemen sentralistik cenderung tidak efektif dan bersifat kontraproduktif terhadap apa yang sebelumnya diperkirakan. Perlunya mengubah pola sentralistik ke desentralistik, banyak dianut oleh negara yang menganut prinsip Negara Kesatuan. Penerapan pola desentralistik pemerintahan dan dekonsentrasi kekuasaan tidak lagi didasarkan atas proses tarik-menarik antara pusat dan daerah, melainkan oleh kebutuhan bersama bahwa hanya melalui desentralisasi kekuasaan pengelolaan pemerintahan bisa menjadi lebih efektif dan efesien. Walaupun demikian, desentralisasi tetap tidak mengubah esensi dasar Negara Kesatuan. Sistem pemerintahan Indonesia menganut asas Negara Kesatuan yang didesentralisasikan (otonomi), dengan demikian maka ada tugas-tugas tertentu yang diurus oleh pemerintah daerah sendiri.”

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah mempunyai kedudukan yang penting dan menonjol pada suatu struktur pemerintahan daerah. Kepala daerah adalah orang pertama dan paling utama dalam mengkoordinasikan aspek perwakilan pada proses pemerintahan daerah. Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokrasi, dan menggerakkan jalannya roda pemerintahan. Fungsi- fungsi pemerintahan daerah terbagi atas perlindungan, pelayanan publik dan pemabangunan. Kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan atas ketiga fungsi pemerintahan tersebut. Dalam konteks struktur kekuasaan, kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah. Sedangkan menurut Hanif Nurcholis, kepala daerah adalah pemimpin lembaga yang melaksanakan peraturan perundangan. Dalam wujud konkritnya, lembaga pelaksana kebijakan daerah adalah organisasi pemerintahan di daerahnya. Kepala daerah provinsi disebut gubernur, kepala daerah kabupaten disebut bupati, dan kepala daerah kota disebut walikota

Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, seorang kepala daerah dalam mengimplementasikan pola kepimpinannya seharusnya tidak berorientasi pada tuntutan untuk memperoleh kewenangan yang sebesar- besarnya, tanpa menghiraukan makna otonomi daerah itu sendiri yang lahir dari suatu kebutuhan akan efisiensi dan efektifitas manajemen penyelenggaraan pemerintahan yang bertujuan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu pemimpin daerah yang baik dan cerdas pasti memiliki kemampuan manajerial yang baik di dalam mengelola pemerintahannnya secara optimal efektif dan efisien dengan tidak harus menuntut terlalu besar kewenangan-kewenangannya. Sebab dengan pemberian otonomi yang seluas-luasnya ini, pemerintah daerah seharusnya sudah mampu untuk mengoptimalkan potenasi daerah yang dimilikinya.

Pelaksanaan otonomi daerah menjadi salah tuntutan yang cukup kuat diperjuangkan pada masa reformasi, hal tersebut tidak terlepas dari respon masyarakat atas penyelenggaraan pemerintah daerah pada masa orde baru yang dinilai gagal dan korup dengan sistemnya yang sentralistik. Otonomi itu sendiri pada hakikatnya menurut Bagir Manan adalah kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Dalam redaksi berbeda, Mahfud MD memberkan arti otonomi daearah sebagai pemberian kebebasan untuk mengurus rumah tangga sendiri tanpa mengabaikan kedudukan pemerintah daerah sebagai aparat pemerintah pusat untuk menyelenggrakan urusan – urusan yang ditugaskan kepadanya. Berdasarakan kedua definisi ahli tersebut, dapat terlihat secara jelas bahwa pada dasarnya otonomi daerah adalah kebebasan atau kemandirian suatu daerah dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Dasar konstitusional penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia dapat di lihat dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945 Amandemen ke 4 khususnya pada ayat kedua (2) pasal tersebut ditegaskan bahwa pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dalam mengurus sendiri urusan pemerintahannya dilaksanakan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Berdasarkan ketentuan penyelenggaraan pemerintah daerah tersebut maka lahirlah daerah otonom sebagai konsekuensi dari adanya asas otonomi yang ada pada pemerintah daerah. Daerah otonom itu secara kelembagaan ialah organ kenegaraan tingkat lebih rendah yang lahir dari prinsip pemencaran kekuasaan (spreiding van machten), sedangkan secara fungsional daerah otonom lahir dari prinsip pemencaran wewenang pemerintahan, yang berarti hanya menjalankan urusan pemerintahan atau administrasi negara.

Daerah otonom tersebut dipimpin oleh kepala daerah dengan sebutan yang berbeda. Untuk daerah provinsi dipimpin oleh gubenur, untuk daerah kabupaten dipimpin oleh bupati, dan daerah kota dipimpin oleh walikota. Kepala daerah ini dalam membentuk kebijakan untuk menjalankan urusan pemerintahan tidak selamanya menuangkan didalam bentuk peraturan perundang-undangan seperti bentuk Peraturan Daerah (Perda), melainkan seringakali juga menuangkannya dalam instrumen berbentuk peraturan kebijakan yang wujudnya sangat beragam.

Konteks “pembentukan perda” dalam kerangka urusan otonomi daerah mengharuskan dilekatkannya “kewenangan” tertentu untuk melaksanakan keberfungsian pemerintahan di daerah. Oleh sebab itu pemerintahan di daerah diberikan “hak” tertentu dalam pembagian urusan itu. Terkait penjelasan itu, sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Latif bahwa: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilengkapi dengan hak-hak inisiatif dan hak mengadakan perubahan. Bahkan persetujuan itu sendiri mengandung kewenangan menentukan (dicicive)”. Di pihak lain terdapat narasi normatif yang menunjukkan adanya konsep “penetapan” sehingga makna yang bertentangan tercermin dalam tautan normatif fungsi kelembagaan yang ada itu. Dalam aturan itu disebutkan bahwa: “Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Berdasarkan pemaparan di atas nampak suatu perbandingan konsep di mana tataran normatif konsep bangunan-bangunan hukum yang disodorkan mengarah pada persoalan struktural sistematis mengenai eksistensi lembaga DPR dan DPRD dalam konteks urusan pusat dan daerah. Akibat hukum yang ditimbulkan tidak lain dan tidak bukan yaitu semacam dualisme kekuasaan dalam memproduksi aturan. Akibat hukum yang demikian menjurus pada penyamaan kekuasaan “lembaga legislatif” sebab dua lembaga legislatif yang berbeda lingkup keberfungsiannya memiliki kekuasaan yang “sama”.

Fungsi Peraturan Daerah adalah sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU tentang Pemerintah Daerah, sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah, serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah yang didasari Pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya, Peraturan Daerah berfungsi juga sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah dan
sebagai peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang diatasnya.

Otonomi tidak saja dipandang sebagai pemberian hak, melainkan juga sebagai pelimpahan wewenang dan kewajiban. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah bertugas untuk berusaha dengan wewenangnya mengatur dengan baik daerahnya ,mengembangkan diri, menggali potensi daerah untuk kesejahteraan masyarakatnya dan sekaligus mempertanggungjawabkan pelaksanaan otonomi daerah. Hakikat otonomi daerah
adalah hak atas kebebasan masyarakat daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri.

Melalui kebijakan otonomi daerah yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah, daerah diberi kewenangan dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus sendiri apa saja kepentingan masyarakat setempat menurut upayanya sendiri yang didasari dari suara masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga diatur dengan adanya asas kebebasan bertindak (freies ermessen) yang diberikan pada pemerintah daerah, dalam berbagai aspek untuk melakukan sebuah tindakan. Freies Ermessen atau disebut juga diskresi digunakan untuk menjalankan sistem pemerintahan yang sesuai dengan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan asas-asas pemerintahan. Freies Ermessen tersebut bertujuan untuk memperlancar tugas-tugas pemerintah daerah setempat dan mempermudah pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerah.

Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Peran ini tidak ringan, tapi juga tidak membebani daerah secara berlebihan. Karena itu, dalam rangka otonomi daerah diperlukan kombinasi yang efektif antara visi yang jelas serta kepemimpinan yang kuat dari pemerintah pusat, dengan keluasaan berprakarsa dan berkreasi dari pemerintah daerah

Visi otonomi daerah itu dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama: Politik, Ekonomi, serta Sosial dan Budaya. Dibidang politik, karena otonomi buah dari desentralisasi dan dekonsentrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Dalam konteks ini, otonomi daerah akanmemungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahakan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infra sturruktur yang menunjang perputaran ekonomi didaerahnya. Dengan demikian, otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dariwaktu ke waktu. Dibidang sosial dan budaya. Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama, memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan disekitarnya dengan kearifan lokal.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Ada beberapa tujuan yang diharapkan dapat tercapai atau terwujud dalam realitas praktik penyelenggaraan pemerintah daerah.Pertama, wewenang otonomi daerah yang seluas-luasnya yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan maksud supaya pemerintah daerah dapat membuat atau menetapkan kebijakan yang dapat memberi pelayanan yang baik kepada masyarakat daerah. Kedua, wewenang otonomi daerah yang seluas-luasnya diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan maksud supaya pemerintah daerah dapat meningkatkan peran serta masyarakat daerah dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di daerah.Ketiga, wewenang otonomi daerah yang seluas-luasnya diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan maksud supaya pemerintah daerah dapatmerangsang atau mendorong pertumbuhan prakarsa atau insiatif pemerintah daerah supaya menjadi pemerintah daerah yang kreatif yang dapat melahirkan ide atau gagasan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Keempat, wewenang otonomi daerah yang seluas- luasnya diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan maksud supaya pemerintah daerah dapat mendorong dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat daerah.

Segenap maksud dan tujuan pemberian wewenang otonomi daerah yang seluas-luasnya yang dikemukakan tersebut mengarah kepada suatu tujuan utama praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah yakni untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (masyarakat) daerah. Prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kesempatan dan perluang kerja kepada tiap daerah otonom untuk dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan insiatif, potensi sumber daya alam, kemauan dan kemampuan masuing- masing daerah.

Pelaksanaan pemerintahan berbasis kesejahteraan masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang merupakan tugas dari Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupanm bangsa dan ikut memelihara ketertiban dunia menurut kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan pemerintahan berada di tangan presiden, Di samping itu, melalui otonomi yang seluas-luasnya dalam lingkungan strategis globalisasi, wilayah diharapkan sanggup menaikkan daya saing dengan memperhatikanprinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

PENUTUP
Kesimpulan

1. Kedudukan Perda Provinsi dalam Hirarki Perundang-undangan Indonesia: Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi) menempati kedudukan strategis dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia. Perda ini berada di bawah undang-undang dan peraturan pemerintah, namun di atas peraturan daerah kabupaten/kota. Perda Provinsi dibuat untuk mengatur hal-hal yang berskala provinsi, memastikan bahwa kebijakan dan regulasi regional selaras dengan kebijakan nasional, sekaligus mengakomodasi kekhususan lokal yang tidak ditangani oleh undang-undang secara spesifik.

2. Mekanisme Pembentukan Perda Provinsi: Proses pembentukan Perda Provinsi diatur oleh undang-undang dan melibatkan beberapa tahapan yang meliputi inisiasi, pembahasan, persetujuan, dan pengesahan. Pemprovinsi bersama dengan DPRD provinsi bekerja sama dalam menyusun dan menyepakati rancangan perda, yang kemudian harus mendapat pengesahan dari gubernur. Seluruh proses ini juga memerlukan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan bahwa perda yang dihasilkan tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi.

3. Peran Perda Provinsi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat: Perda Provinsi memiliki peran kunci dalam pelaksanaan otonomi daerah, memberikan pemerintah provinsi kekuasaan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sesuai dengan kepentingan lokal. Hal ini memungkinkan pemerintah provinsi untuk menyesuaikan kebijakan dan program-program yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan spesifik wilayahnya. Melalui perda, provinsi dapat lebih efektif dalam mengatur sumber daya lokal, mengatasi masalah khusus regional, dan mengimplementasikan kebijakan publik yang mempromosikan pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.

SARAN

1. Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi yang lebih gencar kepada masyarakat dan pemangku kepentingan terkait mengenai kedudukan Perda Provinsi dalam hirarki perundang-undangan Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui seminar, workshop, dan publikasi informasi melalui berbagai media.

2. Perlu ditingkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembentukan Perda Provinsi dengan menyediakan informasi yang mudah diakses oleh publik dan membuka ruang untuk monitoring dan evaluasi publik.dan Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dapat dilakukan untuk mempermudah proses pembentukan Perda Provinsi, seperti dalam penyusunan draf, pembahasan, dan publikasi Perda.

3. Perlu dilakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran Perda Provinsi untuk memastikan efektivitas dan kepatuhan terhadap peraturan yang telah ditetapkan. Serta Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan Perda Provinsi untuk memastikan pencapaian tujuan dan efektivitasnya dalam mewujudkan otonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

JURNAL
Sofyan Piyo, Analisis Yuridis Jenis Dan Kedudukan Peraturan Kepala Otorita Dalam Hirarki Peraturan Perundang Undangan, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, 8, 2023, Hal. 1001-1007
Jodi Purnama, Putra Kedudukan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Provinsi Papua dalam Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia,2020 Hal.3
Juwita Putri Pratama, Eksistensi Kedudukan Peraturan Menteri terhadap Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan,Jurnal Konstitusi, Volume 19, Nomor 4, Desember 2022,Hal.878
Parningotan Malau, Eksistensi Peraturan Daerah Dalam Negara Hukum Republik Indonesia, PETITA, Vol. 4 No. 1, Juni, 2022,Hal.42
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum, Menelisik Pengujian Peraturan Daerah Dalam Bingkai Hukum Responsif, Bogor , UNIDA-PRESS, November 2019, Hal.27
Isroji, Peraturan Daerah Dalam Hirarki Perundang-undangan Indonesia, Volume 3 Nomor 1 Tahun 2024, Hal.46
Arifuddin N, Implementasi Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada Pembentukan Peraturan Daerah,Jurnal Ilmiah Hukum, ol. 23, No. 1, Mei 2020, Hal.59
Mohd. Yusuf DM,Politik Hukum Pembentukan Peraturan Daerah Di Indonesia Dari Masa Ke Masa, Volume 05, No. 02, 2022.Hal.2
Adrian Pratama, Kedudukan Peraturan Tata Tertib DPRD dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan, 2021.Hal.2
Amira Kenap, Proses Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Menjadi Peraturan Daerah, Lex Administratum, Vol. IX/No. 3/Apr/2021,Hal.79
Anang Dwiatmoko, Problematika dan Penataan Pembentukan Peraturan Daerah Melalui Harmonisasi yang Sentralistik, Jurnal Legislasi Indonesia Vol 19 No. 3 – September 2022,Hal.298
Annisa Pratiwi, Kedudukan dan Kegunaan Naskah Akademik dalam Perencanaan Pembentukan Peraturan Daerah, Journal Of Social Science Research Volume 3 Nomor 3 Tahun2023, Hal.5
Asip Suyadi, Progresifitas Peran Organ Pemerintahan Daerah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik (Good Governenance), PALREV JOURNAL OF LAW, Volume 5 Issue 1, Agustus 2022.Hal.88
Achmad Fauzi, Otonomi Daerah Dalam Kerangka Mewujudkan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Yang Baik, Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 16/No. 1/April 2019,Hal.123
Yoseph Fenly Angkadai, Hak Menetapkan Peraturan Daerah Untuk Melaksanakan Otonomi Daerah Dan Tugas Pembantuan, Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021, Hal.174
Ananda Rayhana Putri, Implementasi Peraturan Daerah Dalam Otonomi Daerah Menjadi Salah Satu Parameter Good Governance, Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 2 Nomor 2 (Juni 2022),Hal.847-848
H. Jumahari Jahidin s, Khalimi, Peran Asas Otonomi Daerah Dalam Perkembangan Kesejahteraan Masyarakat Daerah Melalui Peraturan Daerah (Perda), Vol 4,No 2 (2021).Hal.14
Arif Setia Budi, Penyelenggaraan otonomi daerahuntuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, Vol.1, No.2, September 2023.Hal.59
Surya Mukti Pratama, Kedudukan, Fungsi, dan Pengawasan Peraturan Kebijakan Kepala Daerah dalam Kerangka Sistem Otonomi Daerah, Jurnal Analisis Hukum (JAH), Vol. 4 No.1, April 2021,Hal.121
Marten Bunga, Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Ideal Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 4 2019, Hal.819
Marten Bunga, Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Ideal Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 4 2019, Hal.819

BUKU
Multi Sri Asnani, SH., MH, Naskah Akademik Pembentukan Peraturan Daerah ,Cetakan ke-1 November 2023.Hal.3
Fauzi Iswahyudi,Peran Perancang Perndang-undangan dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah,Medan PT.Enam Media,2019. Hal.3-4
Donny Michael, Implementasi Tugas Dan Fungsi Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dalam Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Daerah, Jakarta Selatan, Balitbangkumham, Desember 2021,Hal.6-7
Eka N.A.M. Sihombing, Badan Penelitian Dan Pengembangan Hukum Dan Ham Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta Selatan, Balitbangkumham, Agustus 2023, Hal.12
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum, Menelisik Pengujian Peraturan Daerah Dalam Bingkai Hukum Responsif, Bogor , UNIDA-PRESS, November 2019, Hal.27
Ismail Hasani, Pengujian Konstitusionalitas Perda, PT Gramedia, Jakarta. Cetakan Pertama, Oktober 2020,Hal.14

UNDANG-UNDANG
Undang-undang (UU) Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Quoted From Many Source

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *