Efektivitas tiket elektronik sebagai upaya meningkatkan pelayanan publik di Indonesia

banner 468x60
Efektivitas tiket elektronik sebagai upaya meningkatkan pelayanan publik di Indonesia

PERKENALAN
Dalam melaksanakan tugasnya, Polri berkewajiban memberikan perlindungan, pelayanan, dan pembinaan kepada masyarakat. Hal itu merupakan bagian dari koeksistensi dan integrasi Polri dengan seluruh masyarakat. Untuk itu salah satu inovasi yang dilakukan Polri adalah dengan dibuatnya proses tilang yang dahulu masih menggunakan sistem manual namun kini menjadi sistem tilang elektronik atau biasa kita sebut dengan tilang elektronik. Dalam masyarakat awam, istilah ETLE lebih dikenal dengan sebutan e-tiket yang diresmikan pada tanggal 16 Januari 2020. ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) merupakan seperangkat alat elektronik yang menggunakan teknologi pengenalan plat nomor otomatis (ANPR) dalam berupa kamera yang secara otomatis mengenali kendaraan bermotor dan pelanggaran lalu lintas.

banner 336x280

Oleh karena itu, karena terbatasnya jumlah aparat kepolisian dan perlunya aparat penegak hukum di bidang peraturan lalu lintas, penerapan tiket perjalanan elektronik juga harus memenuhi tuntutan masyarakat akan kemungkinan kurang optimalnya denda yang masuk ke negara. Perbendaharaan. Mengingat proses pembayaran tilang melalui pengadilan seringkali tidak efektif dan membutuhkan waktu lama untuk mengembalikan SIM atau STNK setelah membayar denda.

Secara total, 126 kamera ETLE mampu menangkap sekitar 19 juta pelanggaran lalu lintas pada tahun 2021. Sedangkan tilang manual hanya mampu menangkap 1,7 juta pelanggaran pada tahun 2021. Oleh karena itu, kebijakan ETLE merupakan langkah yang sangat tepat untuk mengatasi tingginya angka pelanggaran lalu lintas,

Pada Oktober 2022, Presiden Polri menghapuskan tilang manual dan menyatakan akan mengintensifkan sistem tilang elektronik untuk menangani pelanggaran lalu lintas. Salah satu alasannya adalah memberikan dampak positif berupa berkurangnya interaksi langsung antara masyarakat dan polisi, sehingga mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangan berupa pungutan liar dan lain sebagainya.

Namun berdasarkan penerapan sistem baru tersebut, sejumlah ahli menilai penerapan ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) terbukti “belum sepenuhnya efektif” dalam menangani pelanggaran lalu lintas di saat infrastruktur dan teknologi tersedia. masih terbatas, sementara tingkat kepatuhan angkutan umum masih rendah. Salah satu fenomena yang muncul adalah para pelanggar lalu lintas kini semakin berani melakukan pelanggaran lalu lintas meski ada petugas polisi, setelah menyadari polisi lalu lintas kini tidak bisa mengeluarkan tilang manual.

Pelanggaran lalu lintas memicu kecelakaan
Lalu lintas yang ideal mencerminkan lalu lintas yang aman, tenteram, tertib, dan lancar. Dari cerminan ideal lalu lintas inilah masyarakat dapat hidup, tumbuh dan berkembang dalam upaya produktif dalam hidupnya, atau dengan kata lain lalu lintas adalah urat nadi kehidupan.

Polri menangani 7.180 kecelakaan lalu lintas di seluruh Indonesia pada 1 hingga 21 Agustus 2023. Data tersebut diperoleh dari IRSMS Korlantas Polri yang diakses pada Selasa 22 Agustus 2023 pukul 12.00 WIB. Dalam kecelakaan tersebut tercatat 782 orang meninggal dunia, 9.053 orang luka ringan, dan 779 orang luka berat. Tingginya angka pelanggaran menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lalu lintas.

Pelanggaran lalu lintas merupakan awal terjadinya kecelakaan lalu lintas. Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM, Iwan Puja Riyadi, ST, dalam keterangannya yang dimuat di situs ugm.ac.id, menyebutkan empat faktor penyebab kecelakaan lalu lintas, yaitu faktor pengemudi, faktor kendaraan, gaya hidup. faktor lingkungan jalan dan faktor cuaca. “Kecelakaan yang terjadi pada umumnya tidak disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan akibat interaksi antar faktor,”

Perlunya manajemen perubahan di bidang kepatuhan terhadap peraturan lalu lintas
Kondisi di atas menunjukkan bahwa manajemen perubahan diperlukan dalam proses transisi sistem. Perubahan terjadi sebagai akibat dari suatu proses yang terjadi kemudian dan menggambarkan suatu peristiwa sebelum dan sesudah. Kurt Lewin (1951) mengutarakan dua kekuatan yang berlawanan bahwa perubahan terjadi akibat dua kekuatan berlawanan yang beroperasi dalam “bidang sosial”. Dimana satu sisi menunjukkan kekuasaan dan menuntut perubahan (driving force) dan di sisi lain terdapat kekuatan yang mempertahankan eksistensi (status quo) yang selalu menghambat perubahan (constraining force). Berdasarkan teori ini, perubahan dapat dilakukan dengan menambah atau memperkuat faktor-faktor yang mendorong perubahan dan mengurangi faktor-faktor penghambat.

Lebih lanjut Andersen dan Andersen (2001) menjelaskan jenis perubahan dalam organisasi dibedakan menjadi tiga, yaitu perubahan perkembangan, perubahan transisi, dan perubahan transformasional. Perubahan perkembangan akan merespon perubahan lingkungan yang relatif kecil, dampak perubahannya lebih kecil dibandingkan dengan jenis perubahan lainnya. Perubahan transisi mempunyai respon yang lebih nyata terhadap perubahan lingkungan, perubahan tersebut memerlukan penggantian yang tentunya akan lebih bermakna dan bermanfaat dibandingkan sebelumnya. Perubahan sementara ini dilakukan berdasarkan kebutuhan dan tuntutan akan perubahan dan perbaikan. Perubahan transformasional ini menggunakan media budaya, isu, wacana sebagai pemicu perubahan dan perbaikan. Tipe ini sangat membutuhkan kemampuan kepemimpinan yang konsisten dan tanggap terhadap segala perubahan dan segala permasalahan yang ada. Sedangkan menurut Ackerman dan Anderson (2001), model perubahan merupakan suatu proses siklus yang memandang perubahan dari tiga sudut pandang: Isi: faktor teknis dan organisasi yang memerlukan perubahan. People: faktor subjektif seperti pola pikir, pola perilaku seluruh pemangku kepentingan dan budaya organisasi Uji coba: kemungkinan rencana tindakan atau strategi yang dapat dikembangkan dan diterapkan agar berhasil mengelola perubahan dalam suatu organisasi. Model ini komprehensif dan berguna dalam menghadapi berbagai jenis perubahan di organisasi mana pun.

Diskusi
Tujuan perubahan adalah untuk memperbaiki, memperkuat dan sekaligus memperbaiki organisasi agar lebih efektif dan efisien. Manajemen perubahan akan mudah diterima dan dilaksanakan bersama-sama apabila masyarakat dan kepolisian mempunyai kesadaran akan perlunya perubahan, keinginan untuk mendukung dan berpartisipasi dalam perubahan, mengetahui cara melakukan perubahan, kemampuan melaksanakan perubahan dan berdaya untuk mempertahankan perubahan.

Konteks perlunya jenis perubahan organisasi yang lebih tepat dalam hal ini adalah jenis perubahan transisi. Perubahan ini diperlukan sebagai respon yang lebih signifikan terhadap perubahan lingkungan. Perubahan transisi diawali dengan kesadaran bahwa permasalahan yang ada tidak dapat diselesaikan dengan mengubah sesuatu dalam proses yang sedang berjalan dalam organisasi atau menciptakan pelayanan yang lebih memuaskan/menciptakan keselamatan dan kenyamanan transportasi. Untuk mendukung keberhasilan program ini, Polri segera melakukan terobosan dengan mengajak masyarakat untuk proaktif melaporkan, misalnya temuan pelanggaran atau pungli yang dilakukan polisi melalui aplikasi Propam Presisi. Selain itu, masyarakat dapat berkontribusi dalam pengurangan pelanggaran lalu lintas dengan secara sadar memperhatikan dan mengatur lalu lintas.

Penutupan
Berdasarkan uraian teori manajemen perubahan di atas, terlihat adanya dampak yang signifikan terhadap proses implementasi E-Tilang. Mencapai perubahan menyeluruh tentu tidak mudah jika tidak ada kolaborasi dengan berbagai pihak untuk disiplin mengikuti aturan dan memaksimalkan kematangan teknologi. Oleh karena itu, perlu adanya penerapan strategi dalam menangani perubahan yang akan terjadi. Tujuan dasarnya seperti meningkatkan kesadaran atau awareness terhadap kepatuhan berlalu lintas dan terus melakukan inovasi dalam proses pelayanan. Konsep penerapan manajemen perubahan diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap perubahan struktur organisasi, pengelolaan sumber daya manusia, proses mekanisme kerja dan budaya organisasi.

Nugraha Jaka Susanto *(Veteran MM UPN dari Yogyakarta)
Purbudi Wahyuni** (Dosen MM UPN Veteran Yogyakarta)
*nugraha.js@gmail.com
**purbudi.wahyuni@upnyk.ac.id (penulis bersama)

LITERATUR

Anderson, DA, & Anderson, LG (2001). Perubahan organisasi: Teori, praktik dan aplikasi. Publikasi Sage.
https://pusiknas. polri.go.id/detail_article/_pelanggar_lalu_lintas_tak_lagi_ditindak_cepat_manual
https://www.antaranews. com/berita/3291879/tilang-elektronik-untuk-penegakan-hukum-tanpa-drama
https://pusiknas. polri.go.id/detail_article/belas_dan_kecelakaan_lalu_lintas
https://setkab.go. id/tiket-manual-dihapus-adaptasi-perubahan-sistem-elektronik/
Lewin, K. (1951). Teori lapangan dalam ilmu sosial. Harper & Baris

Quoted From Many Source

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *